Pojok Blog

Rabu, 09 Desember 2015

asalmula pagar dewa


cerita pagar dewa


Kampung Pagardewa (tanahlado.net)
Bandarlampung—Kalau Anda berselancar di google.com, lalu silakan ketik kata "Pagardewa" atau "Kerajaan Tulangbawang", kemudian silakan klik. Anda akan mendapatkan banyak tulisan tentang Pagardewa ataupun tentang sebuah kerajaan yang konon pernah hidup di Lampung semasa Hindu dan masuknya Islam.

Ya. Menyebut Pagardewa, sejumlah sejarah baik tentang Kerajaan Tulangbawang, prajurit kokoh dan pemeluk Islam pertama bernama Minak Pati Pejurit, maupun kampung yang dikeliling makam dan para dewa sampai cerita “makan manusia” ada di sini.

Kampung (tiyuh) tua ini diapit oleh dua sungai Tulangbawang yakni Way Kanan dan Way Kiri. Untuk sampai ke Pagardewa bisa menggunakan perahu, namun jika melalui darat dapat ditempuh sekitar 2 jam. Kampung tua ini juga disebut sebagai kampung etnis, pasalnya dihuni oleh mayoritas etnik Lampung.

Keadatan orang Lampung di Pagardewa adalah Pepadun dan sistem tradisinya berupa marga. Berbeda dengan Saibatin, pimpinan adat diberikan secara turun-temurun, maka Pepadun dapat dipimpin oleh siapa pun asalkan telah cakak pepadun dan diakui melalui gelar adat.

Menurut sejarah—persisnya cerita yang dituturkan turun-temurun--Kerajaan Tulangbawang berpusat di Pagardewa di Tulangbawang Barat (dahulu Kabupaten Tulangbawang). 

Makam Minak Peti Pejurit (isb)
Di Pagardewa terdapat sejumlah makam, yakni Tuan Rio Mangku Bumi, Minak Pati Pejurit atau Tuan Kemala Bumi, istrinya yaitu Ratu Dibalau (Ratu Balau), dan orang-orang sakti lainnya.

Dalam  situs “Dunia Melayu se-Dunia” menyebutkan, Kerajaan Tulangbawang merupakan salah satu kerajaan Hindu tertua di Nusantara.

Sementara catatan Tiongkok Kuno, sekitar pertengahan abad 4, seorang bikshu dan peziarah Fa-Hien (337-422) berlayar ke Hindia dan Srilangka. Fa-Hien terdampar dan singgah di sebuah kerajaan bernama To-Lang P’o-Hwang atau diartikan Tulangbawang.

Namun, ihwal To-Lang P’o-Hwang ini ada pendapat lain. To-Lang P’o-Hwang bermakna sesuatu yang berada di daratan tinggi. Dapat disimpulkan adalah daerah di sekitar Gunung Pesagi, yang mengacu pada Kerajaan Sekala Brak. Dianggap muasalnya orang Lampung, sebelum runtuhnya Ratu Seghemong—pimpinan Sekala Brak dari bangsa Tumi—oleh kehadiran empat umpu dari Pagaruyung.

Pujangga Tiongkok I-Tsing pernah singgah di Kerajaan Sriwijaya, dan ia sempat melihat daerah bernamaSelapon. Pada abad 7, Tola-P’ohwang diberi nama lain yaitu Selampung lalu dikenal Lampung. Kerajaan Tulangbawang justru pudar ketika Che-Li-P’o (Kerajaan Sriwijaya) semakin berkembang.

Hermani gelar Minak Bangsawan Diraja meyakini, Pagardewa adalah pusat Kerajaan Tulangbawang. Meski fosil istana kerjaan tak ditemukan, sejumlah makam para raja dan hulubalang masih ada hinggsa sekarang.

Dikatakan Hermani, Pagardewa adalah tanah pertama yang dipijak oleh orang Lampung. Dari tanah (bumi Pagardewa) ini pula, adat pun dimulai. Hal itu sejalan dengan ahli sejarah Dr. J.W. Naarding, yang memperkirakan pusat Kerajaan Tulangbawang terletak di Way Tulangbawang—tepatnya antara Menggala dan Pagardewa.

Kerajaan Tulangbawang, sebagaimana dikatakan Minak Bangsawan Diraja, pusatnya diperkirakan di Betut Bujung (pertemuan dua sungai: Way Kanan dan Way Kiri). Pagar Dewa atau Pager Dewou berasal dari kata “pagar” (dikelilingi/dilingkari/dipagari) dan “dewa” (dewa). Berarti kampung ini dikelilingi para dewa.

Arti Pagardewa yang lain ialah pepatian. Maksudnya suatu tempat saling berbunuh dengan lainnya. Bekas “padang karbela” ini masih ada hingga kini di Gayau. Pepatian juga bisa berarti raja-raja atau para ningrat. Sehingga Pagardewa dapat diartikan “tempat berdirinya para raja”. 

Di sini juga tersebar makam. Sehingga daerah ini disebut makamnya orang-orang sakti. Usia makam pun sudah berabad-abad. Misalnya makam Tuan Rio Mangkubumi, Raja Tulangbawang semasa Hindu dan ayahanda Minak Pati Pejurit (Minak Kemala Bumi) ada di Pagardewa.

Begitu pula makam Minak Pati Pejurit yang hidup abad XV dan keturunan ke 10 Kerajaan Tulangbawang serta Putri Balau—istri Minak Kemala Bumi—masih ada dan dirawat oleh keturunannya hingga sekarang.

Pagardewa memiliki banyak cerita. Misalnya, saat orang Pagardewa bertarung dengan orang Bugis, dapat dilihat di daerah Gayau. Begitu pula kisah Lembu Kibang, dan banyak lagi. Atau pada malam hari sering terdengar tetabuhan musik tradisionaldan lain-lain. Sehingga terkesan mistis.

Hermani, juru kunci Makam Minak Pati Pejurit dengan lancar siap menuturkan cerita tentang Pagardewa dan Kerajaan Tulangbawang, hingga silsilah-silsilahnya. Bagaimana ayahanda Minak Pati Pejurit, Tuan Rio Mangkubumi ditawan oleh Kerajaan Palembang.

Kemudian Minak Kemala Bumi siap melancarkan dendamnya. Namun, ia mesti memperkuat dirinya dengan belajar ke Banten. Di Banten, justru Minak Kemala Bumi alias Minak Pati Pejurit mengikrarkan diri sebagai muslim.

Sejak itu ia melupakan dendamnya. Minak Pati Pejurit malah mempertebal iman dan mendalami ilmu Islam ke Mekah. Minak Kemala Bumi, konon, sempat singgah di tanah Tiongkok.

Sementara Prof. Hilman Hadikusuma, sejarahwan dari Universitas Lampung menyatakan, sulit membuktikan keberadaan Kerajaan Tulangbawang mengingat bukti peninggalan baik puing maupun lainnya tidak ada.

Terlepas Kerajaan Tulangbawang benar-benar ada ataukah hanya legenda, bagi Hermani gelar Minak Bangsawan Diraja, bukan soal paling penting.

Pagardewa Makan Orang
Dari sejumlah cerita, Minak Pati Pejurit (Minak Kemala Bumi) dikenal sangat sakti. Karena saktinya, kisah tentangnya selayak cerita silat.

Dalam tulisan Raja Tulangbawang Memeluk Agama Islam pada Bab II “Kerajaan Tulangbawang Sesudah Islam Masuk” dijelaskan, pada tahun 1554 M, Minak Kemala Bumi ke Banten untuk mempelajari agama Islam.

Cerita yang melekat hingga sekarang bahwa orang Pagardewa makan manusia (pagar dewou mengan jimou), sebenarnya salah tafsir. (Baca juga cerpen "Aku Jimou Pagar Dewa")
Syahdan, saat Minak Pati Pejurit hendak mengambil Putri Balau dari Negeri Balau Kedaton untuk dijadikan istri, dia melabuhkan sampannya di Way Lunik. Sebelum masuk ke Negeri Balau, dia bermalam di daerah Panjang. Penjagaan menuju Negeri balau terlalu ketat, sampai pohon-pohon nipah layaknya manusia hidup sebagai pagar betis.

Untuk menakut-nakuti para pengawal Negeri Balau, Minak Pati Pejurit memanggang rusa dan di depannya ada tubuh manusia yang sudah meninggal. Saat para pengawal melihat, Minak Pati Pejurit menyantap daging rusa yang dibakar. Para pengawal pun mengira orang Pagar Dewa ini tengah memakan manusia.

Pagardewa memang menyimpan segudang cerita atau legenda. Di kampung tua ini, kisah dan silisilah marga-marga atau bangsawang Kerajaan Tulangbawang bagaikan tersebar di lontar-lontar.

Sementara itu, kompleks makam yang tersebar di Pagardewa merupakan peninggalan sejarah tentang eksistensi kelompok masyarakat yang ada di Kabupaten Tulangbawang Barat.

Di sini suasana tradisional masih terasa. Misalnya rumah panggung yang masih asli banyak dijumpai, selain pada waktu-waktu tertentu kerap diadakan upacara tradisional.

Selain cerita bahwa di sini pernah ada Kerajaan Tulangbawang, dengan rajanya semasa pra Islam Tuan Rio Mangku Bumi lalu diteruskan oleh putranya sebagai raja terakhir dan semasa Islam yaitu Minak Kemala Bumi alias Minak Pati Pejurit, di sini juga berbagai situs, makam kiyai asal Banten, dan tempat-tempat sejarah yang tersebar di Kecamatan Pagardewa.

Jalan rusak parah (isb)
Infrastruktur
Pagardewa disahkan sebagai kecamatan dalam Sidang Paripurna DPRD Tulangbawang pada 8 Juli 2004, dengan dilantik camat pertama Syofian A. Ganie atas Surat Keputusan Bupati Tulangbawang Abdurrachman Sarbini kala itu.

Kini Pagardewa merupakan kecamatan di wilayah Kabupaten Tulangbawang Barat. Berdasarkan Perda Tulangbawang tersebut luas wilayah Kecamatan Pagardewa 13.328, membawahi lima kampung: Pagardewa, Sukamulya, Cahyowrandu, Bujungsari Marga, dan Kampung Bujung Dewa.

Bersyukur saya pernah dua kali ke Pagardewa. Sebuah kecamatan sekaligus kampung tua yang unik, diapit oleh dua way (sungai) besar: Way Kanan dan Way Kiri. Kampung tua dengan rumah-rumah panggung berusia tua ini, juga diapit oleh dua kabupaten: Tulangbawang dan Way Kanan.

Perjalanan mencapai Pagardewa sangat melelahkan. Dengan kendaraan roda dua, dari Panaragan—ibukota kabupaten—ditempuh sekitar dua jam, harus melalui Kabupaten Way Kanan dan jalan masih tanah diselingi bebatuan. Jika musim hujan, jangan harap bisa menembus jalan menuju kampung tua ini.

Malam datang, kampung pun menjadi kelam. Penerang listrik belum dinikmati masyarakat di sini. Hanyagenset dari rumah-rumah warga. Wajar kalau telepon seluler kerap mati, sebab sulitnya memenuhi baterei.

Bila malam, kampung tua Pagardewa bagai hamparan makam. Gelap gulita. Hanya lampu-lampu berminyak tanah di setiap rumah. Suasana pun seakan mencekam.

Camat Markurius (dok)
Camat Pagardewa Drs. Markurius R.A., MIP., mengakui hal ini. Dia berharap jembatan penyeberangan yang membelah Way Kiri dapat segera terealisasi. Dengan adanya jembatan penyeberangan itu, Pagardewa tak akan terisolir lagi.

Markurius juga mengharapkan pada pemerintah, PLN dapat segera masuk ke daerah ini. Sebab penerang listrik adalah vital bagi kehidupan masyarakat.

Diakuinya Pagardewa berpotensi bagi pembangunan, terutama dari hasil perkebunan, pertanian, dan perikanan. “Saya opitimistis hasil sumber alam dari sini bisa secepatnya dipasarkan, dan masyarakat bisa hidup nyaman. Selain itu PAD juga bisa terpenuhi dengan baik,” katanya.

Harapan Camat Pagardewa yang juga belum direalisasikan, ialah pembagunan Tugu Badik. Ditegaskan, badik adalah alat senjata tajam masyarakat asli Lampung, khususnya dari Pagardewa. “Saya ingin menegakkan Tugu Badik di pintu masuk Pagardewa, cuma sampai sekarang belum terlaksana,” ujar Markurius.

Meski untuk mncapai kampung tua ini melelahkan. Tetapi, mendengar cerita tentang “kejayaan” Pagardewa masa silam, membuat saya bersemangat untuk kembali ke sini.

Kampung tua yang bersejarah, menyimpan banyak misteri, dan “taman” bagi pemakaman, memang menggiurkan banyak pejabat dan politisi di Lampung untuk bertandang dan bermalam. Terutama menjelang pilkada atau pemilihan legislatif, kampung tua ini kerap dikunjungi. Mereka berziarah ke sejumlah makam para “orang sakti” dan “orang suci” yang tersebar di kampung ini. Sepertinya mereka “meminta restu” pada leluhur yang telah tiada.
 
Pagardwa memang berpotensi dijadikan salah satu objek wisata religi dan histori di Kabupaten Tulangbawang Barat. Alangkah eloknya jika pemerintah memikirkan hal ini. Merapikan infrastukturnya. Merampungkan jembatan penyeberangan yang terbengkalai. 

Bayangkan, jika warga yang mengendarai motor atau jalan kaki hanya mengandalkan tongkang untuk menyeberang.Tidak efisien, efektif, dan akan selamanya kampung tua ini terisolir. Gelap pekat jika malam menyungsup.*


[+/-] Selengkapnya...

Rabu, 25 November 2015

budaya lampung


 


Provinsi Lampung dikenal juga dengan julukan “Sang Bumi Ruwa Jurai” yang berarti satu bumi yang didiami oleh dua macam masyarakat (suku/etnis), yaitu masyarakat Pepadun dan Saibatin. Masyarakat pertama mendiami daratan dan pedalaman Lampung, seperti daerah Tulang Bawang, Abung, Sungkai, Way Kanan, dan Pubian, sedangkan masyarakat kedua mendiami daerah pesisir pantai, seperti Labuhan Maringgai, Pesisir Krui, Pesisir Semangka (Wonosobo dan Kota Agung), Balalau, dan Pesisir Rajabasa.

Di samping penduduk asli Suku Lampung, Suku Banten, Suku Bugis, Jawa, dan Bali juga menetap di provinsi itu. Suku-suku ini masuk secara massif ke sana sejak Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1905 memindahkan orang-orang dari Jawa dan ditempatkan di hampir semua daerah di Lampung. Kebijakan ini terus berlanjut hingga 1979, batas akhir Lampung secara resmi dinyatakan tidak lagi menjadi daerah tujuan transmigrasi. Namun, mengingat posisi Lampung yang strategis sebagai pintu gerbang pulau Sumatera dan dekat dengan Ibu Kota Negara, pertumbuhan penduduk yang berasal dari pendatang pun tetap saja tak bisa di bendung setiap tahunnya.

Umumnya masyarakat Lampung mendiami kampung yang disebut dengan Tiyuh, Anek, atau Pekon. Beberapa kampung tergabung dalam satu marga, sedangkan kampung itu sendiri terdiri atas beberapa buway. Di setiap buwat atau gabungan buway terdapat rumah besar yang disebut Nuwou Balak. Biasanya Nuwou Balak ini merupakan rumah dari kepala kerabat yang merupakan pemimpin klan dari kebuwayan tersebut, yang disebut juga dengan punyimbang bumi.

Masyarakat Lampung memiliki bahasa dan aksara sendiri, namun penggunaan bahasa Lampung pada daerah perkotaan masih sangat minim akibat heterogenitas masyarakat perkotaan dan karena itu penggunaan Bahasa Indonesia lebih menonjol. Untuk daerah pedesaan, terutama pada perkampungan masyarakat asli Lampung (riyuh ataupun pekon), penggunaan Bahasa Lampung sangat dominan. Bahasa Lamapung terdiri dari dua dialek, pertama dialek “O” yang biasanya di gunakan oleh masyarakat Pepaduan, meliputi Abung dan Menggala: serta dialek “A” dan umumnya digunakan masyarakat Saibatin, seperti Labuhan meringis, Pesisir Krui, Pesisie Semangka, Belalau, Ranau, Pesisir Rajabasa, Komering, dan Kayu Agung. Namun demikian ada pula masyarakat Pepaduan yang menggunakan dialek “A” ini, yaitu Way Kanan, Sungkai, dan Pubian. Di samping memiliki bahasa daerah yang khas, masyarakat Lampung juga memiliki aksara sendiri yang disebut dengan huruf kha gha nga. Aksara dan Bahasa Lampung itu menjadi kurikulum muatan lokal yang wajib dipelajari oleh murid-murid SD dan SMP di seluruh Provinsi Lampung.

Nilai-nilai budaya masyarakat Lampung bersumber pada falsafah Piil Pasenggiri, yang terdiri atas:
Piil Pasanggiri (harga diri, perilaku, sikap hidup):

1. Nengah nyappur (hidup bermasyarakat, membuka diri dalam pergaulan):
2. Nemui nyimah (terbuka tangan, murah hati dan ramah pada semua orang)
3. Berjuluk Beadek (bernama, bergelar, saling menghormati)
4. Sakai Sambayan (gotong royong, tolong menolong)

Nilai-nilai masyarakat Lampung tercermin pula dalam bentuk kesenian tradisional, mulai dari tari tradisional, gitar klasik Lampung, sastra lisan, sastra tulis, serta dalam bentuk upacara kelahiran, kematian dan kematian. Pembinaan terhadap seni budaya daerah ini dilakukan oleh pemerintah daerah dan lembaga adat secara sinergis. Pada tahun 2006 terdapat sejumlah organisasi kesenian, baik yang bersifat seni tradisional maupun kreasi baru, yang tersebar di berbagai daerah di Lampung. Cabang organisasi tersebut meliputi 127 organisasi seni tari, 87 organisasi seni musik, 15 organisasi seni teater, dan 30 organisasi seni rupa.

Provinsi ini juga memiliki 438 benda cagar budaya yang dimiliki warga masyarakat dan 93 lokasi komplek situs kepurbakalaan yang tersebar di berbagai daerah. Situs kepurbakalaan zaman prasejarah itu antara lain Taman Purbakala Pugung Raharjo do Lampung Timur, situs Batu Bedil di Tanggamus, dan situs Kebon Tebu di Lampung Barat yang berupa menhir dan dolmen. Ada juga situs purbakala zaman Islam berupa kuburan kuno di Bantengsari, Lampung Timur, dan makam Islam di Wonosobo, Tanggamus. Situs kesejarahan antara lain Makam Pahlawan Nasional Raden Intan II di Lampung Selatan. Di Museum Negeri Rua Jurai Lampung, menurut catatan terakhir 2006, ada 4.369 benda berharga yang berasal dari berbagai jenis koleksi yang bernilai sejarah, budaya, dan ilmu pengetahuan.

Pada kunjungan kerja ke Provinsi Lampung pada tanggal 14 Juli 2005, dalam acara Peresmian Pembukaan Utsawa Dharma Gita Tingkat Nasional IX tahun 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpesan bahwa: Bangsa kita memang bangsa yang majemuk, yang mempunyai latar belakang kesukuan, kebudayaan, dan keagamaan yang berbeda-beda. Namun hakekat kemanusiaan sesungguhnya adalah satu, yaitu semua manusia adalah ciptaan Tuhan. Sebab itu, perbedaan-perbedaan tidaklah menjadi halangan bagi kita untuk hidup rukun, hidup damai, dan hidup bersatu menjadi sebuah bangsa di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.


ADAT-ISIADAT LAMPUNG


 


Pada dasarnya jurai Ulun Lampung adalah berasal dari Sekala Brak, namun dalam perkembangannya, secara umum masyarakat adat Lampung terbagi dua yaitu masyarakat adat Lampung Saibatin dan masyarakat adat Lampung Pepadun. Masyarakat Adat Saibatin kental dengan nilai aristokrasinya, sedangkan Masyarakat adat Pepadun yang baru berkembang belakangan kemudian setelah seba yang dilakukan oleh orang abung ke banten lebih berkembang dengan nilai nilai demokrasinya yang berbeda dengan nilai nilai Aristokrasi yang masih dipegang teguh oleh Masyarakat Adat Saibatin.
Masyarakat adat Lampung Saibatin
Masyarakat Adat Lampung Saibatin mendiami wilayah adat: Labuhan Maringgai, Pugung, Jabung, Way Jepara, Kalianda, Raja Basa, Teluk Betung, Padang Cermin, Cukuh Balak, Way Lima, Talang Padang, Kota Agung, Semaka, Suoh, Sekincau, Batu Brak, Belalau, Liwa, Pesisir Krui, Ranau, Martapura, Muara Dua, Kayu Agung, empat kota ini ada di Propinsi Sumatera Selatan, Cikoneng di Pantai Banten dan bahkan Merpas di Selatan Bengkulu. Masyarakat Adat Saibatin seringkali juga dinamakan Lampung Pesisir karena sebagian besar berdomisili di sepanjang pantai timur

SASTRA LAMPUNG



Sastra lisan

Sastra lisan Lampung menjadi milik kolektif suku Lampung. Ciri utamanya kelisanan, anonim, dan lekat dengan kebiasaan, tradisi, dan adat istiadat dalam kebudayaan masyarakat Lampung. Sastra itu banyak tersebar dalam masyarakat dan merupakan bagian sangat penting dari khazanah budaya etnis Lampung.
Jenis sastra lisan Lampung
A. Effendi Sanusi (1996) membagi lima jenis sastra tradisi lisan Lampung: peribahasa, teka-teki, mantera, puisi, dan cerita rakyat.

 


Tari Sembah

Tari 
Sembah
Tarian Penyambutan yang dikenal untuk menyambut tamu Agung ini adalah tarian khas Lampung yang hingga saat ini masih dilestarikan. Tarian ini merupakan tarian sekapur sirih yang menunjukkan keramahtamahan masyarakat Lampung. Dengan atribut siger dan tapis yang merupakan budaya khas Lampung tarian ini juga pernah dipertontonkan di luar negeri terutama di negara-negara asia yang mendapat apresiasi yang luar biasa dalam pementasannya.

[+/-] Selengkapnya...

Selasa, 24 November 2015

makanan khas palembang


makanan khas palembang



Kuliner Palembang – Tentunya sudah bukan rahasia lagi jika Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya dengan jenis makanan dan masakan, mulai dari sabang sampai merauke beragam jenis makanan khas Indonesia bisa anda pilih dan anda cicipi saat anda berkunjung ke sebuah tempat yang ada dalam lingkup Indonesia.
Dengan kayanya jenis kuliner di Indonesia membuat para wisatawan betah untuk selalu mengunjungi setiap sudut atau wilayah yang ada di Indonesia. Pasalnya setiap tempat yang ada di Indonesia mempunyai makanan khas sendiri-sendiri, hal ini tentu akan membuat para wisatawan untuk mendapatkan pengalaman yang baik dalam berkuliner.
Kuliner Palembang
Pada kesempatan kali ini halomuda.com akan mengajak anda untuk membahas tentang wisata kuliner palembang yang wajib anda coba dan cicipi apabila anda sedang berkunjung ke Kota Palembang. Tentunya saat kita di tanya tentang makanan apa yang terkenal dan berasal dari Palembang tentu jawaban kita adalah Pempek, akan tetapi Pempek adalah hanya sebagian kecil saja dari kayanya makanan yang ada di Palembang.
Berikut ini adalah wisata kuliner di palembang yang setidaknya akan ada 9 makanan khas palembang yang akan kita bahas. 9 Makanan khas Palembang yang akan kita bahas ini tentunya akan memberikan pengetahuan lebih tentang kuliner di palembang.

Ini 9 Makanan Khas Kuliner Palembang Wajib di Kunjungi

  1. Tekwan
Tekwan
Untuk wisata kuliner palembang yang pertama adalah sebuah makanan yang bernama tekwan. Sebenarnya tekwan itu adalah sebuah makanan yang berbahan dasar olahan ikan yang di masak dengan cara di rebus kemudian di bentuk dengan cara di pelintir.
  1. Gado-Gado
gado-gado
Untuk makanan khas Kota Palembang yang kedua ini adalah merupakan makanan yang ada juga di Pulau jawa. Gado-gado merupakan makanan dengan berbagai macam bahan di dalamnya yang kemudian di siram dengan saus kacang yang mempunyai rasa khas Palembang.
  1. Burgo
Untuk wisata kuliner di palembang yang ketiga ini adalah makanan yang biasa di sebut dengan makanan Burgo. Makanan khas palembang yang di namakan Burgo ini adalah berbahan dasar beras yang di olah, kemudian untuk kuah dari Burgo ini adalah santan berwarna kuning. Biasanya burgo di sajikan untuk sarapan pagi.
  1. Laksan
Laksan
Untuk wisata kuliner palembang yang ke empat adalah sebuah makanan yang rupanya bisa di katakan sebagai makanan khas dari palembang, karena bahan dasar dari Laksan sendiri adalah ikan yang kemudian di beri kuah bersantan yang sangat gurih.
Advertisement
  1. Es Kacang Merah
es kacang merah
Untuk yang ke lima ini, wisata kuliner di palembang es kacang merah ini biasanya di jual di pinggir jalan. Wisata kuliner di palembang Es kacang merah ini biasanya di sajikan dengan berbagai pilihan rasa, teksturnya yang lembut membuat rasanya semakin enak. Ditambah lagi santan khas dan gula jawa yang di kombinasikan dalam satu mangkuk, membuat lidah bergoyang.
  1. Model
Model
Model yang akan kita bahas sini bukan merupakan peraga busana, akan tetapi model disini adalah makanan khas dari palembang yang berbahan dasar ikan seperti Pempek pada umumnya. Akan tetapi Model ini mempunyai tekstur yang lebih lembut lagi di bandingkan dengan Pempek yang merupakan makanan khas dari palembang.
  1. Adaan
adaan
Untuk wisata kuliner palembang yang ke tujuh ini adalah sebuah makanan khas palembang yang berbentuk bulat dan rasanya seperti Pempek. Pada dasarnya Adaan ini adalah Pempek yang di bentuk bulat, kenapa di namakan Adaan? Karena dalam proses pembuatan makanan khas palembang ini di lakukan dengan seadanya yakni di bentuk bulat.
  1. Lenggang
Wisata kuliner di palembang berikutnya adalah sebuah makanan palembang yang berbahan dasar ikan yang di mix dengan telur. Makanan khas Palembang  yang di namakan Lenggang ini di masak dengan cara di panggang dan biasanya di sajikan dalam alas daun pisang.
  1. Pempek
Pempek
Untuk wisata kuliner palembang yang terakhir akan kita bahas dalam topik makanan khas Palembang ini adalah Pempek. Beberapa jenis pempek yang ada seperti pempek lenjer, pempek telor, pempek keriting, pempek pistel dan masih banyak lagi jenis pempek lainnya yang jelas bisa membuat lidah bergoyang. Cita rasa akan keluar saat makanan khas palembang pempek ini di padukan dengan cuko

http://tanahaircerita.blogspot.com/2015/11/makanan-khas-palembang.html

[+/-] Selengkapnya...