Provinsi Lampung dikenal juga dengan julukan
“Sang Bumi Ruwa Jurai” yang berarti satu bumi yang didiami oleh dua macam
masyarakat (suku/etnis), yaitu masyarakat Pepadun dan Saibatin. Masyarakat
pertama mendiami daratan dan pedalaman Lampung, seperti daerah Tulang Bawang,
Abung, Sungkai, Way Kanan, dan Pubian, sedangkan masyarakat kedua mendiami
daerah pesisir pantai, seperti Labuhan Maringgai, Pesisir Krui, Pesisir Semangka
(Wonosobo dan Kota Agung), Balalau, dan Pesisir Rajabasa.
Di samping penduduk asli Suku Lampung, Suku
Banten, Suku Bugis, Jawa, dan Bali juga menetap di provinsi itu. Suku-suku ini
masuk secara massif ke sana sejak Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1905
memindahkan orang-orang dari Jawa dan ditempatkan di hampir semua daerah di
Lampung. Kebijakan ini terus berlanjut hingga 1979, batas akhir Lampung secara
resmi dinyatakan tidak lagi menjadi daerah tujuan transmigrasi. Namun, mengingat
posisi Lampung yang strategis sebagai pintu gerbang pulau Sumatera dan dekat
dengan Ibu Kota Negara, pertumbuhan penduduk yang berasal dari pendatang pun
tetap saja tak bisa di bendung setiap tahunnya.
Umumnya masyarakat Lampung mendiami kampung
yang disebut dengan Tiyuh, Anek, atau Pekon. Beberapa kampung tergabung dalam
satu marga, sedangkan kampung itu sendiri terdiri atas beberapa buway. Di setiap
buwat atau gabungan buway terdapat rumah besar yang disebut Nuwou Balak.
Biasanya Nuwou Balak ini merupakan rumah dari kepala kerabat yang merupakan
pemimpin klan dari kebuwayan tersebut, yang disebut juga dengan punyimbang
bumi.
Masyarakat Lampung memiliki bahasa dan aksara
sendiri, namun penggunaan bahasa Lampung pada daerah perkotaan masih sangat
minim akibat heterogenitas masyarakat perkotaan dan karena itu penggunaan Bahasa
Indonesia lebih menonjol. Untuk daerah pedesaan, terutama pada perkampungan
masyarakat asli Lampung (riyuh ataupun pekon), penggunaan Bahasa Lampung sangat
dominan. Bahasa Lamapung terdiri dari dua dialek, pertama dialek “O” yang
biasanya di gunakan oleh masyarakat Pepaduan, meliputi Abung dan Menggala: serta
dialek “A” dan umumnya digunakan masyarakat Saibatin, seperti Labuhan meringis,
Pesisir Krui, Pesisie Semangka, Belalau, Ranau, Pesisir Rajabasa, Komering, dan
Kayu Agung. Namun demikian ada pula masyarakat Pepaduan yang menggunakan dialek
“A” ini, yaitu Way Kanan, Sungkai, dan Pubian. Di samping memiliki bahasa daerah
yang khas, masyarakat Lampung juga memiliki aksara sendiri yang disebut dengan
huruf kha gha nga. Aksara dan Bahasa Lampung itu menjadi kurikulum muatan lokal
yang wajib dipelajari oleh murid-murid SD dan SMP di seluruh Provinsi
Lampung.
Nilai-nilai budaya masyarakat Lampung bersumber
pada falsafah Piil Pasenggiri, yang terdiri atas:
Piil Pasanggiri (harga diri, perilaku, sikap
hidup):
1. Nengah nyappur (hidup bermasyarakat, membuka
diri dalam pergaulan):
2. Nemui nyimah (terbuka tangan, murah hati dan
ramah pada semua orang)
3. Berjuluk Beadek (bernama, bergelar, saling
menghormati)
4. Sakai Sambayan (gotong royong, tolong
menolong)
Nilai-nilai masyarakat Lampung tercermin pula
dalam bentuk kesenian tradisional, mulai dari tari tradisional, gitar klasik
Lampung, sastra lisan, sastra tulis, serta dalam bentuk upacara kelahiran,
kematian dan kematian. Pembinaan terhadap seni budaya daerah ini dilakukan oleh
pemerintah daerah dan lembaga adat secara sinergis. Pada tahun 2006 terdapat
sejumlah organisasi kesenian, baik yang bersifat seni tradisional maupun kreasi
baru, yang tersebar di berbagai daerah di Lampung. Cabang organisasi tersebut
meliputi 127 organisasi seni tari, 87 organisasi seni musik, 15 organisasi seni
teater, dan 30 organisasi seni rupa.
Provinsi ini juga memiliki 438 benda cagar
budaya yang dimiliki warga masyarakat dan 93 lokasi komplek situs kepurbakalaan
yang tersebar di berbagai daerah. Situs kepurbakalaan zaman prasejarah itu
antara lain Taman Purbakala Pugung Raharjo do Lampung Timur, situs Batu Bedil di
Tanggamus, dan situs Kebon Tebu di Lampung Barat yang berupa menhir dan dolmen.
Ada juga situs purbakala zaman Islam berupa kuburan kuno di Bantengsari, Lampung
Timur, dan makam Islam di Wonosobo, Tanggamus. Situs kesejarahan antara lain
Makam Pahlawan Nasional Raden Intan II di Lampung Selatan. Di Museum Negeri Rua
Jurai Lampung, menurut catatan terakhir 2006, ada 4.369 benda berharga yang
berasal dari berbagai jenis koleksi yang bernilai sejarah, budaya, dan ilmu
pengetahuan.
Pada kunjungan kerja ke Provinsi Lampung pada
tanggal 14 Juli 2005, dalam acara Peresmian Pembukaan Utsawa Dharma Gita Tingkat
Nasional IX tahun 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpesan bahwa: Bangsa
kita memang bangsa yang majemuk, yang mempunyai latar belakang kesukuan,
kebudayaan, dan keagamaan yang berbeda-beda. Namun hakekat kemanusiaan
sesungguhnya adalah satu, yaitu semua manusia adalah ciptaan Tuhan. Sebab itu,
perbedaan-perbedaan tidaklah menjadi halangan bagi kita untuk hidup rukun, hidup
damai, dan hidup bersatu menjadi sebuah bangsa di bawah naungan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
ADAT-ISIADAT LAMPUNG
Pada dasarnya jurai Ulun Lampung adalah
berasal dari Sekala Brak, namun dalam perkembangannya, secara umum masyarakat
adat Lampung terbagi dua yaitu masyarakat adat Lampung Saibatin dan masyarakat
adat Lampung Pepadun. Masyarakat Adat Saibatin kental dengan nilai
aristokrasinya, sedangkan Masyarakat adat Pepadun yang baru berkembang
belakangan kemudian setelah seba yang dilakukan oleh orang abung ke banten lebih
berkembang dengan nilai nilai demokrasinya yang berbeda dengan nilai nilai
Aristokrasi yang masih dipegang teguh oleh Masyarakat Adat Saibatin.
Masyarakat adat Lampung Saibatin
Masyarakat Adat Lampung Saibatin mendiami
wilayah adat: Labuhan Maringgai, Pugung, Jabung, Way Jepara, Kalianda, Raja
Basa, Teluk Betung, Padang Cermin, Cukuh Balak, Way Lima, Talang Padang, Kota
Agung, Semaka, Suoh, Sekincau, Batu Brak, Belalau, Liwa, Pesisir Krui, Ranau,
Martapura, Muara Dua, Kayu Agung, empat kota ini ada di Propinsi Sumatera
Selatan, Cikoneng di Pantai Banten dan bahkan Merpas di Selatan Bengkulu.
Masyarakat Adat Saibatin seringkali juga dinamakan Lampung Pesisir karena
sebagian besar berdomisili di sepanjang pantai timur
SASTRA LAMPUNG
Sastra lisan
Sastra lisan Lampung menjadi milik kolektif suku Lampung. Ciri utamanya kelisanan, anonim, dan lekat dengan kebiasaan, tradisi, dan adat istiadat dalam kebudayaan masyarakat Lampung. Sastra itu banyak tersebar dalam masyarakat dan merupakan bagian sangat penting dari khazanah budaya etnis Lampung.Jenis sastra lisan Lampung
A. Effendi Sanusi (1996) membagi lima jenis sastra tradisi lisan Lampung: peribahasa, teka-teki, mantera, puisi, dan cerita rakyat.
0 komentar:
Posting Komentar