Pojok Blog

Selasa, 17 November 2015

sejarah dan kebudayaan betawi


sejarah



Diawali oleh orang Sunda (mayoritas), sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian Pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Malaka di semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India.

Antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, MA memperkirakan, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Castle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.

Rumah Bugis di bagian utara Jl. Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Jawa dan Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu.

SUKU BETAWI

Pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.

Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.

Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.

Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional. Hal ini terjadi karena pada abad ke-6, kerajaan Sriwijaya menyerang pusat kerajaan Tarumanagara yang terletak di bagian utara Jakarta sehingga pengaruh bahasa Melayu sangat kuat disini.

Selain itu, perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Sunda) dengan bangsa Portugis pada tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir musik keroncong.


SETELAH KEMERDEKAAN

Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti apapun juga — tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Walaupun sebetulnya, ’suku’ Betawi tidaklah pernah tergusur atau digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah ’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.


BAHASA

Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.

Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar Batavia juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura atau Sunda Kalapa, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau etnis Sunda di pelabuhan Sunda Kalapa, jauh sebelum Sumpah Pemuda, sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.

Karena perbedaan bahasa yang digunakan tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi (kata turunan dari Batavia). Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik[1] yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.

Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi.


SENI DAN KEBUDAYAAN

Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong.

Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tiongkok, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an.

Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu.


KEPERCAYAAN

Orang Betawi sebagian besar menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katholik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.


PROFESI

Di Jakarta, orang Betawi sebelum era pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing. Semisal di kampung Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong banyak dijumpai para petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain). Dan secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik semisal K.H. Djunaedi, K.H. Suit, dll. Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni oleh kaum betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan.

Kampung yang sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah. Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan silat banyak di jumpai disana semisal Ji'ih teman seperjuangan Pitung dari Rawabelong. Di kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda dulu, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru, pengajar, ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.

Warga Tebet aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu Ganefonya Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus ke Tebet dan sekitarnya untuk "terpaksa" memuluskan pembuatan kompleks olahraga Gelora Bung Karno yang kita kenal sekarang ini. Karena asal-muasal bentukan etnis mereka adalah multikultur (orang Nusantara, Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain), profesi masing-masing kaum disesuaikan pada cara pandang bentukan etnis dan bauran etnis dasar masing-masing.


PERILAKU DAN SIFAT

Asumsi kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo yang menjadi Gubernur Jakarta saat ini .

Ada beberapa hal yang positif dari Betawi antara lain Jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun terkadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung tendensius. orang betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang tercermin dari ajaran orangtua (terutama yang beragama islam), kepada anak-anaknya. Masyarakat betawi sangat menghargai pluralisme. hal ini terlihat dengan hubungan yang baik antara masyarakat betawi dan pendatang dari luar Jakarta.

Orang betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi. terbukti dari perilaku kebanyakan warga yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat betawi masa kini agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri (baca : Jakarta). namun tetap ada optimisme dari masyarakat betawi generasi mendatang yang justreu akan menopang modernisasi tersebut.


TOKOH BETAWI

* Muhammad Husni Thamrin - pahlawan nasional
* Ismail Marzuki - pahlawan nasional, seniman
* Ridwan Saidi - budayawan, politisi
* Bokir - seniman lenong
* Nasir - seniman lenong
* Benyamin Sueb - artis
* Nazar Ali - artis
* Mandra - artis
* Omaswati - artis
* Mastur - artis
* Mat Solar - artis
* Fauzi Bowo - pejabat pemerintahan
* K.H. Noerali - pahlawan nasional, ulama
* SM Ardan - sastrawan
* Mahbub Djunaidi - sastrawan
* Firman Muntaco - sastrawan







SEKILAS TENTANG BETAWI

Tetapi awal mula perkembangan Jakarta yang dianggap penting dimulai pada abad ke-16 ketika Portugis mulai tertarik pada pelabuhan Sunda Kelapa yang sejak abad ke- 12 telah menjadi salah satu pusat perdagangan penting di Nusantara, bahkan di Asia.

Karena daya tarik Jakarta tersebut, pada tahun 1522 Portugis masuk ke Jakarta dan membuat perjanjian dengan raja Pajajaran, yang antara lain mengijinkan Portugis membangun Benteng di Sunda Kelapa. Pada masa inilah kekuatan urbanisme baru mulai diperkenalkan pada Jakarta yang secara pasti merubah urban landscape dari suatu kota, pantai asli dengan kompleks keraton sebagai unsur penting daripadanya, menjadi kota yang berwajah "Eropa", melalui berbagai proses perebutan kekuasaan dan lain-lain yang disertai dengan pembangunan benteng dan berbagai fasilitas lainnya di atas lokasi yang menjadi cikal bakal kota Jakarta oleh berbagal pihak yang terlibat dalam proses tersebut.

Proses ini dimulai dengan tidak dapat diterimanya perjanjian tersebut oleh kerajaan Islam di Demak yang kemudian menyerang dan menduduki Sunda Kelapa pada tahun 1527 di bawah Fatahillah. Atas kemenangannya ini Fatahillah kemudian menamakan Sunda kelapa dengan "Jayakarta", yang artinya adalah "kemenangan berjaya". Dan beberapa saat kemudian oleh Fatahillah Jayakarta dikembangkan di sebelah Barat Sungai Ciliwung sehingga menjadi suatu kota pelabuhan atau kota pantai yang penting. Sementara itu, di sebelah Timur Sungai Ciliwung berkembang pula permukiman yang dihuni orang-orang Cina yang melakukan aktifitas perdagangan di sini.

Pada tahun 1617 di atas pernukiman Cina tersebut Belanda mendapat ijin membangun sebuah kantor dagang. Tetapi kesempatan ini juga ternyata disalah gunakan untuk membangun benteng yang sangat tidak disukai oleh Jayakarta. Karenanya Belanda kemudian mendapatkan kesukaran dari Jayakarta yang disokong oleh Banten, dan Inggris. Hal ini yang kemudian menjadi sebab terjadinya permusuhan antara Belanda dengan ketiga kekuatan lainnya tersebut.

Dengan bantuan kekuatan Belanda yang dari Maluku, pada tahun 1619 Jayakarta. ditundukkan Belanda di bawah pimpinan J.P. Coen. Kota Jayakarta di sebelah Barat Sungai Ciliwung dihancurkan dan Coen kernudian membangun kota dengan gaya kota Belanda di sebelah Timur Ciliwung. Nama Jayakarta kernudian diubah menjadi Batavia. Dan sejak saat ini perkembangan kota Jakarta banyak ditentukan oleh konsep-konsep perencanaan kota Belanda/Eropa.

Walaupun di satu pihak perkembangan Jakarta banyak ditentukan oleh aktifitas orang-orang Belanda dan melahirkan bagian kota yang mirip kota di Belanda, di pihak lainnya tumbuh permukiman kaum pribumi yang memiliki ciri-ciri pertumbuhannya sendiri. Di daerah pantai, permukiman pribumi tersebut merupakan permukiman nelayan, dan di daerah hinterland (dalam) permukiman ini merupakan permukiman yang bercirikan desa pertanian/perkebunan. Yang di daerah pantai kebanyakan dihuni oleh orang-orang Jawa, Cina dan pendatang lainnya; sedangkan yang dibagian dalam dihuni oleh orang-orang Sunda, Jawa dan "Betawi". Permukiman-permukiman ini merupakan permukiman "asli" yang berbeda dengan permukiman Belanda.

Pada abad 17 dan 18, Jakarta merupakan kota tempat berimigrasinya orang-orang dari berbagai daerah di Nusantara, misalnya dari Melayu, Ambon, Bugis dan Bali. Kedatangan mereka pada umumnya memiliki kaitan dengan kegiatan perdagangan yang berkembang pesat di Jakarta. Dan mereka membentuk permukiman menurut latar belakang etnisnya, yang biasanya terdapat di dekat jalur-jalur komunikasi dan pusat-pusat yang dibangun Belanda. Permukiman-permukiman inipun bisa dikategorikan sebagai permukiman "asli" karena turnbuh menurut aturan-aturan sendiri dari & masing-masing kelompok etnis yang bersangkutan.

Dengan adanya pertumbuhan permukiman-permukiman asli tersebut, yang terkelompok-kelompok menurut latar belakang etnis masing-masing penduduknya, pada sekitar tahun 1840-an istilah "kampung" pertama kali dikenal yang mengindikasikan "permukiman asli" yang dibedakan dari istilah "kota" untuk permukiman Belanda, yang nampaknya muncul dari istilah compound. Sejak saat ini dikenal istilah kampung Melayu, kampung Bali dan sebagainya, yang menandai latar belakang etnis masing-masing pemukimnya. Kampung-kampung inilah yang berkembang sejak abad 17, yang bersama-sama kampung-kampung di daerah dalam dan di daerah pantai, kemudian menjadi kampung-kampung Betawi yang dikenal sekarang.

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Undang-undang pemerintahan Hindia Belanda, membedakan peraturan bagi permukiman Belanda (Bebouwde Kom) dari permukiman kampung (yang disebut Inlandsche Gemeenten) dengan aturan pembangunannya masing-masing. Atau dengan kata lain, selama masa ini ada semacam "otonomi" bagi kampung-karnpung yang termasuk ke dalam Inlandsche Gemeenten untuk mengatur perkembangan/pembangunannya sendiri di luar aturan-aturan pernbangunan kota yang diperuntukan bagi permukiman Belanda. Hal ini memberikan kesernpatan pada kampung-kampung di atas untuk berkernbang pesat. Segi negatip dari keadaan ini adalah adanya perkembangan tak terkendali dari sejurnlah kampung sehingga terjadi kampung-kampung yang standard huniannya sangat rendah dan kepadatannya sangat tinggi, yang pada urnurnnya terdapat di daerah pusat kota atau dekat jalur-jalur komunikasi atau pusat-pusat kegiatan yang dibangun Belanda.

Ketika Jepang masuk Indonesia, kota Batavia diganti namanya menjadi Jakarta. Pada saat ini balk kota Jakarta maupun kampung-kampung di dalamnya telah berkembang cepat. Berdasarkan studi-studi yang telah dilakukan, di Jakarta pada saat ini telah terdapat tiga (3) tipologi karnpung yaitu :

Kampung Kota yang terletak dekat pusat-pusat kegiatan kota yang biasanya berkepadatan sangat tinggi.
Kampung Pinggiran, berada di daerah pinggiran kota tetapi masih termasuk ke dalam batas wilayah dan kegiatan kota, berkepadatan antara rendah dan sedang, tapi kadang-kadang ada yang tinggi.
Kampung Pedesaan; kebanyakan berada di luar batas wilayah dan kegitan perkotaan, berkepadatan rendah dan kebanyakan bertumpu pada kegiatan pertanian dan perkebunan.

Banyak kampung-kampung yang termasuk kampung kota dan kampung pinggiran berkembang setelah Belanda menguasai Jakarta. Demikian pula, hampir semua permukiman yang terbentuk berdasarkan pengelompokan etnis terdapat pada kampung kota dan kampung pinggiran. Sebaliknya kampung-kampung pedesaan yang terdapat di daerah dalam kebanyakan sudah berdiri sejak sebelum Belanda masuk Jakarta (contoh : Condet). Karenanya, sifat Betawi "asli" dari kampung-kampung pedesaan lebih kuat dari kampung-kampung pada tipologi lainnya. (Rumah Tradisional Betawi : Dinas Kebudayaan).




ANTROPOLOGI BETAWI

Betawi dan Akar Sosial Budaya

Fungsi yang demikian sarat, telah menjadikan Jakarta sebagai melting-pot. Tempat bertemu aneka suku bangsa, agama
dan budaya. Ini nampak sangat nyata pada pertumbuhan dan perkembangan profil masyarakat Betawi. Dan setidaknya,
sebuah karikatur yang menggambarkan sopir dan penumpang bajaj, menyajikan kenyataan itu.

"Pan udah gua bilang, kalo mau ilangin stres, kudu sering naar boven," kata si sopir bajaj. "Oke deh, ane reken isi dompet
dulu. Bangsa goban sih ada," jawab si penumpang.

Nampak jelas dalam dialog itu. Ada unsur Bali (akhiran -in), Arab (ane - saya), Belanda (naar boven dan reken), Tionghoa
(goban - lima puluh ribu), Jawa (kudu -harus), dan Inggris (stress). Namun secara gramatikal, dialek Batawi adalah salah
satu logat dari bahasa Melayu, suatu bahasa di mana bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dikembangkan. Dalam
pada itu, seorang anggota Dewan Pakar Lembaga Kebudayaan Betawi, Ridwan Saidi, sambil mengutip pendapat Bern
Nothover (1995), mencatat bahwa, apa yang dikenal kini sebagai Bahasa Betawi adalah bahasa Melayu dialek Nusa
Kalapa (bersama Pakuan merupakan dua kota penting pada jaman kerajaan Pajajaran di bawah Prabu Siliwangi yang
kemudian namanya berganti menjadi Jakarta) yang telah dipergunakan di Jakarta paling sedikit sejak abad 10 (Babad
Tanah Betawi, 2002). Penduduk Nusa Kalapa sendiri sebelum abad 10, sebagaimana halnya seluruh penduduk Nusa
Jawa, besar kemungkinan berbahasa Kawi atau Jawi. Memang, tidak semua kosa kata Betawi lama berasal dari bahasa
Kawi/Jawi, karena juga terdapat campuran bahwa Melayu Polinesia, dan kemudian pada abad 16 mendapat pengaruh
Portugis, di samping juga pengaruh bahasan Sunda pada abad 14, ketika kekuasaan Sunda memfungsikan pelabuhan
Kalapa, dan bahasa-bahasa lain pada masa-masa berikutnya.

Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil
perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan
asing. Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik
Cina, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,
dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an.

Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku
dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu. Diawali oleh orang Sunda, sebelum
abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian Pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda,
terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Malaka di
semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India.

Waktu Fatahillah dengan tentara Demak menyerang Sunda Kelapa (1526/27), orang Sunda yang membelanya dikalahkan
dan mundur ke arah Bogor. Sejak itu, dan untuk beberapa dasawarsa abad ke-16, Jayakarta dihuni orang Banten yang
terdiri dari orang yang berasal dari Demak dan Cirebon. Sampai JP Coen menghancurkan Jayakarta (1619), orang Banten
bersama saudagar Arab dan Tionghoa tinggal di muara Ciliwung. Selain orang Tionghoa, semua penduduk ini
mengundurkan diri ke daerah kesultanan Banten waktu Batavia menggantikan Jayakarta (1619).

Pada awal abad ke-17 perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia mula-mula dibentuk oleh Kali Angke dan
kemudian Cisadane. Kawasan sekitar Batavia menjadi kosong. Daerah di luar benteng dan tembok kota tidak aman,
antara lain karena gerilya Banten dan sisa prajurit Mataram (1628/29) yang tidak mau pulang. Beberapa persetujuan
bersama dengan Banten (1659 dan 1684) dan Mataram (1652) menetapkan daerah antara Cisadane dan Citarum
sebagai wilayah kompeni. Baru pada akhir abad ke-17 daerah Jakarta sekarang mulai dihuni orang lagi, yang digolongkan
menjadi kelompok budak belian dan orang pribumi yang bebas. Sementara itu, orang Belanda jumlahnya masih sedikit
sekali. Ini karena sampai pertengahan abad ke-19 mereka kurang disertai wanita Belanda dalam jumlah yang memadai.
Akibatnya, benyak perkawinan campuran dan memunculkan sejumlah Indo di Batavia. Tentang para budak itu, sebagian
besar, terutama budak wanitanya berasal dari Bali, walaupun tidak pasti mereka itu semua orang Bali. Sebab, Bali
menjadi tempat singgah budak belian yang datang dari berbagai pulau di sebelah timurnya.

Sementara itu, orang yang datang dari Tiongkok, semula hanya orang laki-laki, karena itu mereka pun melakukan
perkawinan dengan penduduk setempat, terutama wanita Bali dan Nias. Sebagian dari mereka berpegang pada adat
Tionghoa (mis. Penduduk dalam kota dan 'Cina Benteng' di Tangerang), sebagian membaur dengan pribumi (terutama
dengan orang Jawa dan membentuk kelompok Betawi Ora, mis: di sekitar Parung). Tempat tinggal utama orang Tionghoa
adalah Glodok, Pinangsia dan Jatinegara.

Keturunan orang India -orang Koja dan orang Bombay- tidak begitu besar jumlahnya. Demikian juga dengan orang Arab,
sampai orang Hadhramaut datang dalam jumlah besar, kurang lebih tahun 1840. Banyak diantara mereka yang
bercampur dengan wanita pribumi, namun tetap berpegang pada ke-Arab-an mereka. Di dalam kota, orang bukan
Belanda yang selamanya merupakan mayoritas besar, terdiri dari orang Tionghoa, orang Mardijker dari India dan Sri
Lanka dan ribuan budak dari segala macam suku. Jumlah budak itu kurang lebih setengah dari penghuni Kota Batavia.

Orang Jawa dan Banten tidak diperbolehkan tinggal menetap di dalam kota setelah 1656. Pada tahun 1673, penduduk
dalam kota Batavia berjumlah 27.086 orang. Terdiri dari 2.740 orang Belanda dan Indo, 5.362 orang Mardijker, 2.747 orang
Tionghoa, 1.339 orang Jawa dan Moor (India), 981 orang Bali dan 611 orang Melayu. Penduduk yang bebas ini ditambah
dengan 13.278 orang budak (49 persen) dari bermacam-macam suku dan bangsa. Sepanjang abad ke-18, kelompok
terbesar penduduk kota berstatus budak. Komposisi mereka cepat berubah karena banyak yang mati. Demikian juga
dengan orang Mardijker. Karena itu, jumlah mereka turun dengan cepat pada abad itu dan pada awal abad ke-19 mulai
diserap dalam kaum Betawi, kecuali kelompok Tugu, yang sebagian kini pindah di Pejambon, di belakang Gereja
Immanuel. Orang Tionghoa selamanya bertambah cepat, walaupun ribuan orang Tionghoa dibunuh pada tahun 1740 di
dalam dan di luar kota.

Di luar kota pada tahun 1673 hidup kurang lebih lima ribu orang Indonesia dan kurang lebih enam ratus Indo-Belanda.
Orang-orang Indonesia bebas datang ke Batavia, terutama dari luar Jawa, semisal Sulawesi Selatan, Banda, Ambon dan
Bali. Di antara orang Indonesia itu beberapa diantaranya mencapai posisi cukup baik, misalnya para kapten yang sering
memperoleh tanah luas, orang Bali yang mengimpor budak, pemilik kapal Bugis dan Melayu serta para mandor dari Jawa
(pemahaman masa itu tentang orang Jawa sering mencakup orang dari Banten sampai Jawa Timur serta bahkan dari
Kampung Jawa di Palembang) yang mendatangkan kuli-kuli untuk perkebunan tebu, bengkel kayu serta galangan kapal.
Beberapa nyai termasuk juga kelompok orang berada. Nyanya Rokya misalnya, pada tahun 1816 memiliki dua puluh dua
budak belian. Adapun tentang apa yang disebut dengan "orang" atau "Suku Betawi" sebenarnya terhitung pendatang baru
di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta,
seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, dan Melayu. Antropolog Univeristas Indonesia, Dr Yasmine Zaki
Shahab MA menaksir, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893.

Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Casle. Di
zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, di mana dikategorisasikan berdasarkan bangsa atau
golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai
golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.

Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang
Arab dan Moors, orang Jawa dan Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang
Melayu. Namun, pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul dalam data
sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.

Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada
awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut
diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam
lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Mohammad Husni Thamrin, tokoh
masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar
mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi. Simpul terakhr yang berpijak pada berita resmi
Kolonial itu ditolak keras Ridwan Saidi. Alasan tokoh Betawi ini dilandaskan pada teori Bern Nothofer, jauh sebelum
Belanda tiba di wilayah ini, antara abad 8-10, demi mempertahankan kekuasaannya, Kerajaan Sriwijaya atas tanah Nusa
Kalapa telah menghadirkan migran Suku Melayu yang berasal dari Kalimantan Barat, yang juga sekaligus menjadi awal
penyebaran secara meluas bahsa Melayu yang kemudian menjadi lingua franca di Kalapa menggeser kedudukan bahasa
Sunda Kawi.

Selain itu, sejak masa Salakanagara, diduga muncul pada tahun 130 M, orang Nusa Kalapa sudah mulai mengenal
masyarakat internasional melalui kedatangan para pelancong dari India, Cina dan Arab. Pengenalan meluas ketika
pelabuhan Kapala menjadi pelabuhan samudra pada abad ke-14. Dan, pada abad ke-16 orang Betawimengenal orang
Portugis, kemudian pada abad ke-17 mengenal orang Belanda dan pada permulaan abad ke-19 orang Betawi mengenal
orang Perancis dan Inggris, serta sejak pertengahan abad ke-19 secara pro-aktif orang Betawi mengenal masyarakat
internasional melalui pelayanan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji.

Terlepas dari semua itu, sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta pada umumnya,
dan Jakarta Pusat pada khususnya dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi - dalam arti apapun
juga - tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta
penduduk Jakarta pada waktu itu. Adapun di Jakarta Pusat, menurut Sensus tahun 2000, populasi penduduk dengan etnis
Betawi ini masih cukup tinggi, mencapai 31,16 persen, tersebar di semua Kecamatan di Jakarta Pusat, dengan dominasi
utama di Kecamatan Kemayoran dan Tanah Abang. Memang, sebagian dari ereka semakin telah terdesak ke pinggiran,
bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Namun sebetulnya, 'suku' Betawi tidaklah pernah tergusur atau
digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan
melalui proses panjang itu pulalah 'suku' Betawi hadir di bumi Nusantara.


0 komentar:

Posting Komentar